Saturday 28 December 2013

Jika istrimu seorang engineer



Saya calon engineer, dan saya mengakui bahwa engineer, adalah profesi yang identik dengan laki-laki. Hal ini bukan tanpa alasan, bukan hanya karena peminatnya mayoritas kaum pria, tapi karena jenis pekerjan dan tuntutannya lebih cocok dijalankan oleh laki-laki.

Awalnya menjadi seorang engineer tidak ada dalam pilihan saya. Berawal dari coba-coba, ingin tantangan baru, jadilah saya masuk di keprofesian ini. Tidak tanggung-tanggung, keteknikan yang saya pilih adalah teknik pertambangan. Dominan laki-laki, ya. Tapi sejauh ini, saya bisa menikmati pilihan saya, saya menyukai keprofesian yang saya jalani sekarang.

Tadi sore saya membaca sebuah artikel, dari link yang diunggah Nirmana (temen dari jurusan tambang),

Saya sependapat dengan isi artikel tsb. Tapi, jadi penasaran, apa yang orang pikirkan mengenai perempuan yang berprofesi sebagai engineer.

Di artikel di atas disebutkan kalau jadi istrinya engineer, harus mengerti kalau suaminya akan jarang di rumah, kalau suaminya akan melakukan hal-hal yang efisien dan praktis, dan meminta istrinya untuk selalu berada di samping anaknya. Lalu, kalau jadi suaminya engineer?
Kalau saya jadi laki-laki, saya akan memilih calon istri yang (kalo bisa) bukan engineer..hehe
Tapi karena saya seorang engineer, saya ada dalam posisi antara memperjuangkan karir sebagai engineer, atau jadi istri yang baik.


Kuliah adalah sebuah tanggung jawab. Bukan hanya kepada orang tua, tapi juga kepada keprofesian yang kita ambil. Kita masuk dengan mengorbankan cita-cita orang yang kita sisihkan. Jika kita yang punya kesempatan ini tidak mau mengambil bagian untuk aktif dalam keprofesian kita, melakukan apa yang kita bisa untuk masyarakat yang belum punya kesempatan, siapa yang akan melakukan? Menggantungkan kepada orang lain dan hanya bisa memprotes karena tidak tepatnya kebijakan yang diambil?
Sampai saat ini saya masih teguh dengan pemikiran tersebut. Jadi, saya tidak akan meninggalkan keprofesian saya.

Tapi jangan salah, menjadi seorang istri, ibu, adalah hal yang jauh lebih besar. Percayalah kalo setiap perempuan pasti punya keinginan menjadi seorang istri dan ibu.

Engineer itu, ketika dia sudah menjadi istri, dia akan tetap taat pada suaminya. Kenapa? Karena dia tahu apa yang diperintahkan Tuhannya. Dengan kata lain, perempuan yang baik, pasti menjadi istri yang baik tanpa harus benar-benar meninggalkan keprofesiannya. Perempuan yang hebat, bukan hanya perempuan yang ada di samping dan mendorong laki-laki yang hebat. Perempuan yang mampu berkarya dengan keprofesiannya, tetapi tetap menomorsatukan keluarga, juga adalah perempuan yang hebat.
Dan menurut saya, jika sang perempuan engineer ini taat pada agamanya, ketika dia merasa tidak mampu dengan apa yang dia pegang, hal yang dia kurangi adalah pekerjaannya, bukan mengurangi perhatiannya kepada keluarga.

Di ITB, banyak banget perempuan-perempuan calon engineer. Dan sampai saat ini, makin banyak bahasan tentang bidang keahlian apa di keprofesian masing-masing yang tidak akan mengganggu perhatiannya untuk keluarga nanti. Bahkan dari sekarang pun, calon-calon engineer ini juga memikirkan keluarga mereka nanti jika mereka berkarir.

Menjadi istri, menjadi ibu dan guru terdekat untuk sang anak, dan berkarya untuk negeri. Jika mampu, kenapa tidak.

Jadi kalau ditanya, karir atau keluarga? Keluarga tetap no.1. Tapi jika memiliki kemampuan lebih, dan keluarga mengizinkan, jangan pernah ragu untuk berkarya. Keprofesian bukan cuma kesenangan, tapi juga tanggung jawab.

2 comments:

Andherlyan Wiratama said...

Keren artikelnya. Salam kenal saya juga kuliah di teknik hehee

tddfh said...

kalau aku mah bersyukur dapat istri ngineer kak...