Saya calon engineer, dan saya mengakui bahwa engineer, adalah profesi yang identik dengan laki-laki. Hal ini bukan tanpa alasan, bukan hanya karena
peminatnya mayoritas kaum pria, tapi karena jenis pekerjan dan tuntutannya
lebih cocok dijalankan oleh laki-laki.
Awalnya menjadi seorang engineer tidak ada dalam
pilihan saya. Berawal dari coba-coba, ingin tantangan baru, jadilah saya masuk
di keprofesian ini. Tidak tanggung-tanggung, keteknikan yang saya pilih adalah
teknik pertambangan. Dominan laki-laki, ya. Tapi sejauh ini, saya bisa
menikmati pilihan saya, saya menyukai keprofesian yang saya jalani sekarang.
Tadi sore saya membaca sebuah artikel, dari link yang
diunggah Nirmana (temen dari jurusan tambang),
Saya sependapat dengan isi artikel tsb. Tapi, jadi
penasaran, apa yang orang pikirkan mengenai perempuan yang berprofesi sebagai
engineer.
Di artikel di atas disebutkan kalau jadi istrinya
engineer, harus mengerti kalau suaminya akan jarang di rumah, kalau suaminya akan
melakukan hal-hal yang efisien dan praktis, dan meminta istrinya untuk selalu
berada di samping anaknya. Lalu, kalau jadi suaminya engineer?
Kalau saya jadi laki-laki, saya akan memilih calon
istri yang (kalo bisa) bukan engineer..hehe
Tapi karena saya seorang engineer, saya ada dalam
posisi antara memperjuangkan karir sebagai engineer, atau jadi istri yang baik.
Kuliah adalah sebuah tanggung jawab. Bukan hanya
kepada orang tua, tapi juga kepada keprofesian yang kita ambil. Kita masuk
dengan mengorbankan cita-cita orang yang kita sisihkan. Jika kita yang punya
kesempatan ini tidak mau mengambil bagian untuk aktif dalam keprofesian kita,
melakukan apa yang kita bisa untuk masyarakat yang belum punya kesempatan,
siapa yang akan melakukan? Menggantungkan kepada orang lain dan hanya bisa
memprotes karena tidak tepatnya kebijakan yang diambil?
Sampai saat ini saya masih teguh dengan pemikiran
tersebut. Jadi, saya tidak akan meninggalkan keprofesian saya.
Tapi jangan salah, menjadi seorang istri, ibu, adalah
hal yang jauh lebih besar. Percayalah kalo setiap perempuan pasti punya
keinginan menjadi seorang istri dan ibu.
Engineer itu, ketika dia sudah menjadi istri, dia akan
tetap taat pada suaminya. Kenapa? Karena dia tahu apa yang diperintahkan
Tuhannya. Dengan kata lain, perempuan yang baik, pasti menjadi istri yang baik
tanpa harus benar-benar meninggalkan keprofesiannya. Perempuan yang hebat,
bukan hanya perempuan yang ada di samping dan mendorong laki-laki yang hebat.
Perempuan yang mampu berkarya dengan keprofesiannya, tetapi tetap
menomorsatukan keluarga, juga adalah perempuan yang hebat.
Dan menurut saya, jika sang perempuan engineer ini
taat pada agamanya, ketika dia merasa tidak mampu dengan apa yang dia pegang,
hal yang dia kurangi adalah pekerjaannya, bukan mengurangi perhatiannya kepada
keluarga.
Di ITB, banyak banget perempuan-perempuan calon
engineer. Dan sampai saat ini, makin banyak bahasan tentang bidang keahlian apa
di keprofesian masing-masing yang tidak akan mengganggu perhatiannya untuk
keluarga nanti. Bahkan dari sekarang pun, calon-calon engineer ini juga
memikirkan keluarga mereka nanti jika mereka berkarir.
Menjadi istri, menjadi ibu dan guru terdekat untuk
sang anak, dan berkarya untuk negeri. Jika mampu, kenapa tidak.
Jadi kalau ditanya, karir atau keluarga? Keluarga
tetap no.1. Tapi jika memiliki kemampuan lebih, dan keluarga mengizinkan,
jangan pernah ragu untuk berkarya. Keprofesian bukan cuma kesenangan, tapi juga
tanggung jawab.